Rabu, 21 Oktober 2009

MUSIK CAMPURSARI By Penget SPdMUS.

MUSIK campur sari pernah tumbuh bagai cendawan di musim hujan (kemruyuk :Jawa), namun kini bagai di telan bumi. Mengapa ? Pertanyaan tersebut akhir-akhir ini terus bermunculan, seiring tenggelamnya musik campursari.

Pertanyaan tersebut sangat layak mengemuka, karena beberapa tahun silam musik campursari sempat menjadi fenomena di blatika musi Indonesia, setelah mendapat sentuhan dari Manthous. Sementara itu, para pengelola grup campursari saat ini mengeluh karena setiap kali pentas hampir selalu 'diganggu' oleh ulah sekelompok kecil penonton yang membuat pementasan menjadi kacau. Akhirnya masyarakat mulai enggan menanggap campursari.

Setelah hampir 20 tahun menjadi fenomena, eksistensi musik campursari saat ini dinilai perlu dipertanyakan kembali. Banyak musisi campursari mengatakan bahwa jenis musik ini sedang mengalami stagnasi. Di sisi lain, para pemerhati menyayangkan adanya gejala para musisi campursari yang selama ini mengabaikan nilai-nilai keadiluhungan dan ruh campursari.

Nilai-nilai keadiluhungan campursari sebagai musik kreasi yang berangkat dari seni tradisi (Jawa), di antaranya terlihat dari pola sajian musik, pola garap serta kostum para musisi maupun penyanyi. "Agar nilai-nilai keadiluhungan tetap terasa, seharusnya ruh campursari jangan terabaikan," kata pemerhati seni tradisi sekaligus pakar musik etnis, Drs Sumaryono MA.

Menurutnya, dalam perkembangannya saat ini memang hanya beberapa musisi campursari yang tetap mempertahankan ruh campursari. Sedangkan sebagian besar musisi campursari justru mengabaikan ruh tersebut, sehingga yang muncul kemudian keonaran dalam berbagai pentas musik campursari.
Disebutkan, ruh musik campursari adalah nilai-nilai kearifan lokal yang tetap melekat pada musik campursari (intrumen, kostum, dan lagu-lagunya).

"Ketika identitas atau ruh tersebut terabaikan, musik campursaripun akan semakin jauh dari keinginan luhur para pelopor musik campursari, khususnya cita-cita Manthous sebagai maestro musik campursari," tegas Drs Sumarono MA dalam sarasehan Campursari di Taman Budaya Yogyakarta, belum lama ini.

Sebenarnya, Manthous pada tahun pada akhir dekade 90-an lalu juga sudah menegaskan bahwa penggabungan unsur pentatonis dan diatonis dalam musik campursari tidak asal campur, tetapi pencampuran dua unsur musik tersebut harus bener dan pener.? Karena itu, musisi campursari selalu dituntut memiliki kreativitas untuk mencari lagu-lagu yang benar-benar dapat dicampursarikan. Sebab, penggarapan karya dan penyajian campursari yang asal-asalan dan mengabaikan nilai-nilai adiluhung justru akan menjerumuskan musik campursari ke jurang degradasi keadiluhungan seni tradisi.

Menurut Manthous saat itu, musik campursari ditemukan melalui perjalanan panjang dan tahapan-tahapan untuk mematangkan jenis baru musik tersebut. Meskipun campursari merupakan gabungan unsur pentatonis dan pentatonis, campursari bukanlah langgam, bukan keroncong, bukan karawitan, bukan dangdut, juga bukan musik popo. Musik campuirsari adalah campursari, sekaligus fenomena yang sedang berkembang seiring perkembangan pola pikir masyarakat, dari kultur agraris menuju pola pikir industri.

Dalam Sarasehahan 'Arah Depan Musik Campursari' di Taman Budaya Yogyakarta? yang diselenggarakan oleh Asosiasi Campursari Indonesia (ACSI), awal April lalu, sejumlah kecemasan mengenai masa depan campursari juga mengemuka.

Penasihat ACSI, Drs Hari Sanjojo Malangjoedo MSi mengetakan, kendala terbesar yang dihadapi pelaku musik campursari, sebagian besar datang dari dalam diri mereka sendiri. Pertama, masih belum berkembangnya jiwa enterpreneur. Kedua, etos kerja yang belum beradaptasi dengan watak industri hiburan. Ketiga, kesadaran komunikasi untuk memenuhi kebutuhan publik? dan promosi masih sangat terbatas.

Disamping itu, sebagian besar kelompok campursari diniatkan sebagai sarana komunikasi sosial semata, bukan untuk tujuan komersial. Grup-grup campursati umumnya hanya untuk menjaga kerapatan kultural dalam lingkungan sosial. Karena itu perkembangan musik campursari memberi dampak sosial luar biasa, khususnya dalam memberi wadah berhibur masyarakat.

Dalam kaitan nilai tambah ekonomi, Drs Sumaryono MA mengatakan bahwa jauh sebelum para ahli memunculkan gagasan tentang ekonomi kreatif, para musisi campursari telah membuktikan keberhasilan menjual ekonomi kreatif.

Terpisah, pencipta dan penyanyi lagu pop Jawa, Didi Kempot mengakui, berkibarnya musik campursari pada tahun 1990-an bisa menjadi tonggak sejarah kebangkitan musik lagu-lagu Jawa. Lagu-lagu campursari karya Manthous yang terkenal di antaranya Gethuk, Nyidham Sari, Randha Kempling

, dan Mbah Dhukun

. Setelah Manthous suskes, kemudian terus bermunculan grup campursari di Jateng-DIY dan luar Jawa. Nama Didi Kempot juga sempat melejit lewat lagu pop Jawa Stasiun Balapan

dan Sewu Kutha

.

Sekitar 15 sampai 20 tahun lalu, hampir di semua kecamatan (khususnya di DIY) ada grup campursari. Bahkan jenis-jenis kesenian lain juga terkena 'wabah' campursari, sehingga lahirlah ketoprak campursari, jatilan campursari, angguk campursari, lengger campursari, dan kesenian campursari lainnya. Semua diberi label campursari, dan semuanya laris manis di pasaran.

Didi Kempot juga mengakui bahwa upaya Manthous memopulerkan musik campursari sampai digandrungi masyarakat Indonesia di Jawa maupun luar Jawa, memang sangat hebat. Salah satunya karena jasa Manthous, musik campursari juga digemari masyarakat Suriname. Karena itu, aksi kepedulian Kelik Pelipur Lara dan Endah Saraswati bersama Komunitas Lembaga Bantuan Humor (Elbeha), yang didukung sejumlah seniman Yogya-Solo, 20 April lalu di Gedung Societet Taman Budaya Yogyakarta, layak didukung dan dikembangkan untuk saling peduli antarseniman. Bukan hanya peduli kepada Sang Maestro Campursari Manthous.

Menurutnya, musik campursari yang digulirkan Manthous sempat melejit di blantika musik di Indonesia, bukan hanya lantaran perusahaan rekaman Dasa Record memroduksi lagu campursari. Namun banyak seniman tradisi yang kemudian berkiprah di musik campursari, dan ikut panen rejeki. Di antaranya dalang, pengrawit, waranggana, penyanyi dangdut, hingga pengamen jalanan.

"Ketika saya masih mengais rejeki, mengamen di Solo dan kawasan Jalan Malioboro Yogya, juga ikut kecipratan rejeki karena sering membawakan lagu Gethuk

karya Mas Manthous," ungkap Didi Kempot di sela pentas di Taman Budaya Yogya. (Joko Budhiarto).
?

Tidak ada komentar: